Pada 7 Desember 1942, Ratu Wilhelmina berpidato dalam bahasa Inggris. Kala itu negerinya, Belanda, tengah diduduki NAZI Jerman dan semua aparatus negara mengungsi ke London. Belanda mendirikan pemerintahan pelarian di kota itu.
Di pidato tersebut, sang ratu memuji rakyat tanah jajahan Hindia (ia bahkan menyebutnya 'Indonesia') atas perannya dalam mempertahankan diri dari serbuan Jepang. Ia juga melontarkan janji manis berupa bentuk pemerintahan baru bagi negeri-negeri jajahan setelah Perang Dunia II berakhir. Tiga tahun kemudian PD II benar-benar berakhir dan situasi politik global sudah sangat berubah.
Hanya beberapa minggu setelah PD II berakhir, kegelisahan pascaperang segera mencuat di Belanda. Muncul kekhawatiran yang luar biasa tentang bagaimana mengatasi perekonomian yang porak poranda akibat perang.
Kegelisahan orang-orang Belanda kian bertambah karena menyaksikan realitas bahwa dekolonisasi besar-besaran tengah terjadi di mana-mana. Hindia Belanda, tanah jajahan kesayangan, juga sedang dilamun arus dekolonisasi itu dan memerdekakan diri menjadi Republik Indonesia.
Saat itu timbul pendapat umum di kalangan masyarakat Belanda bahwa Republik Indonesia bikinan Sukarno—yang selalu mereka tuduh sebagai “kolaborator Jepang"—tak lebih dari sekadar pemerintahan semrawut, tak becus mengurus dirinya sendiri, dan gagap memelihara perdamaian. Karena itulah Belanda merasa perlu turun tangan untuk melakukan tugas suci kolonial yang telah mereka emban selama ratusan tahun: memberantas segala ketidakberesan dan menegakkan rust en orde (ketenteraman dan ketertiban) di negeri jajahan yang paling menguntungkan itu, bila perlu dengan mengangkat senjata.
Cara pandang itu sekilas terlihat sebagai iktikad baik. Tapi ketika semangat kemerdekaan bergema di mana-mana, ia terasa ketinggalan zaman dan mengandung banyak paradoks: Apakah memberantas ketidakteraturan dan menegakkan perdamaian mesti dengan kekerasan? Apakah Belanda satu-satunya pihak yang memahami kehendak seluruh rakyat Indonesia? Atau mengapa Belanda, negara yang pernah mengalami kegetiran pendudukan NAZI, harus melakukan tindakan yang serupa dengan Jerman terhadap rakyat Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan macam itu banyak dilontarkan oleh kalangan oposisi, utamanya golongan kiri, di Belanda dalam menyikapi situasi terkini antara Indonesia dan bekas penjajahnya.
Pandangan ini sebenarnya minoritas dalam pendapat umum di Belanda. Pemerintahan yang berkuasa saat itu adalah koalisi Partai Katolik dan Partai Demokrat, dua partai yang sebenarnya berpandangan moderat dalam menyikapi kemerdekaan Indonesia. Koalisi ini terdesak pandangan kaum konservatif, yang juga menjadi pendapat umum masyarakat, dan akhirnya memaksa mereka mengambil tindakan tegas dan segera terhadap eksistensi Republik Indonesia.
Paradoks di atas barangkali salah satu ironi terbesar dalam sejarah hubungan Belanda-Indonesia dalam kurun 1945-1949, bahkan mungkin sepanjang sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Sebuah ironi yang, disadari atau tidak, telah membentuk semacam “etik" kolonialisme: selalu menempatkan Belanda sebagai Tuan Eropa yang pemurah dan punya misi membawa kaum pribumi kepada alam yang lebih beradab—suatu mission civilisatrice.
"Indisch verloren, rampspoed geboren"
Ada semacam kepercayaan dalam benak kebanyakan orang Belanda bahwa kehilangan tanah Hindia adalah bencana tak tertanggungkan. Ini tergambar jelas dalam ungkapan populer yang digemakan lagi oleh pers Belanda pada awal dasawarsa 1940-an: "Indisch verloren, ramspoed geboren" (Hindia hilang, kesengsaraan datang).
Ungkapan ini berasal dari zaman Perang Dunia I yang disebarkan Onze Vloot (Armada Kita), kelompok pencinta maritim dari Belanda dari para pelaut sipil dan anggota angkatan laut. Mereka kelompok nasionalis yang berhaluan konservatif.
Ketika kampanye tentang pembentukan milisi Hindia yang populer dengan nama Indie Weerbaar (Pertahanan Hindia) mulai mengemuka pada saat Perang Dunia I meletus, kelompok itu salah satu pendukung utamanya. Mereka was-was dengan kemungkinan terburuk Perang Dunia I yang bisa menyebabkan Hindia lepas. Salah satu penyokong Onze Vloot adalah W.V. Rhemrev, perwira KNIL yang juga pendukung utama aksi Indie Weerbaar.
"Indisch verloren, ramspoed geboren" biasanya diungkapkan orang-orang Belanda dengan nada penuh kekhawatiran dan menyiratkan ketergantungan kepada Hindia. Kepercayaan ini terus melekat dan akhirnya menjadi mitos tersendiri dalam masyarakat Belanda yang tengah dirundung kegelisahan pascaperang. Mereka menganggap jika Hindia lepas, sumber utama perekonomian mereka akan hilang dan menyebabkan Belanda jatuh ke dalam kubangan kemiskinan.
Harus diakui nilai ekonomis Hindia bagi negeri Belanda sangat besar, paling tidak dalam satu setengah abad terakhir. Kekuatan ekonomi Belanda sebenarnya terletak bukan pada aktivitas perekonomian di negeri sendiri, melainkan pada perputaran roda kolonialisme tempat negeri Belanda berjalan di atasnya.
Jika roda ini berhenti bergerak, bisa dibayangkan betapa hancur Belanda nanti. Mitos macam itu rupanya terus-menerus dipelihara oleh pemerintah untuk mencari justifikasi sekaligus dukungan masyarakat atas petualangannya di negeri Hindia.
Kelak, ketika Indonesia benar-benar lepas pada 1949, "Indisch verloren, ramspoed geboren" terbukti mitos belaka. Tanpa Hindia, pemulihan ekonomi Belanda ternyata berlangsung sangat singkat, apalagi dengan bantuan dana dari Amerika Serikat melalui skema Marshall Plan.
Marshall Plan adalah paket kebijakan ekonomi AS yang memberi pinjaman lunak kepada negara-negara Eropa barat guna pemulihan ekonomi pascaperang. Bantuan ini diberikan secara bertahap selama tiga tahun (1948-1951).
Belanda termasuk lima besar negara yang mendapat jatah paling banyak dari 16 negara penerima. Total bantuan yang diterima sebanyak 1.128 juta dolar AS (rata-rata 376 juta dolar AS per tahun), suatu jumlah fantastis mengingat Produk Domestik Bruto Belanda pada 1938 “hanya" sekitar 280 juta dolar AS.
Dengan bantuan sebesar itu, Belanda berhasil kembali menjadi salah satu kekuatan ekonomi Eropa pada akhir 1950-an. Pencapaian itu didapat tanpa memeras lagi bumi Hindia.
Paternalisme Kolonial
Sikap lain yang menonjol di Belanda adalah paternalisme kolonial. Ini memang menjadi ciri umum masyarakat negeri penjajah.
Hubungan penjajah-terjajah dibayangkan seperti bapak dan anak. Penjajah selamanya menganggap rakyat negeri jajahannya selayak "anak" yang mesti terus-menerus dibimbing oleh "sang bapak".
Hindia, dalam hal ini, adalah anak yang dianggap belum cukup, atau bahkan tidak akan pernah, dewasa. Sehingga sang bapak perlu membimbing dan menuntunnya sampai pada fase ia dianggap telah dewasa dan bisa mengatur diri sendiri. Tapi, masalahnya, kapan sang anak dewasa itulah yang tak pernah secara jelas dirumuskan oleh Belanda.
Ilustrasi yang bisa menggambarkan relasi bapak-anak di atas bisa dilihat dalam hubungan antara raja-raja Jawa dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Setiap raja Jawa diwajibkan pemerintah kolonial untuk memanggil dan memperlakukan Gubernur Jenderal di Batavia sebagai orang tua dengan panggilan “eyang".
Sikap paternalistik macam ini berkelindan dengan mitos "Indisch verloren, ramspoed geboren" sehingga membentuk mentalitas kolektif dalam sebagian besar masyarakat Belanda. Mentalitas ini menjelma menjadi kekhawatiran berlebihan terhadap segala hal yang berbau “Indonesia merdeka". Dengan mentalitas ini, Belanda semakin posesif terhadap Hindia dan tetap mempertahankan tanah jajahan itu dengan cara apapun. Akibatnya fatal bagi kedua belah pihak: peperangan jadi tak terelakkan.
Belanda Bersikap Realistis
Belanda melihat perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin jika suatu hari Hindia tiba-tiba lepas dari tangannya. Basis yang dipakai sebagai penguat hal itu adalah pidato Ratu Belanda pada 7 Desember 1942.
Inti pidato itu, sang ratu menjanjikan Hindia sebagai negara persemakmuran berbentuk federasi yang berpemerintahan sendiri di dalam lingkup Kerajaan Belanda. Pidato ini selalu dijadikan patokan Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook dalam setiap perundingan dengan Indonesia sepanjang 1945-1947.
Cara pandang seperti van Mook dianggap ketinggalan zaman oleh orang Indonesia. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV menyebutnya sebagai “alam pikiran yang masih diselimuti oleh rijkseenheidsgedachte (gagasan kesatuan Kerajaan Belanda)" (hlm. 132).
Gagasan tersebut berasal dari paruh kedua abad ke-20 yang dipopulerkan kelompok-kelompok progresif di Belanda. Sebuah gagasan yang menekankan pentingnya kebebasan membentuk pemerintahan sendiri bagi rakyat Hindia, tapi masih dalam ikatan kesatuan antara Kerajaan Belanda dan Hindia.
Banyak politikus Belanda dekade 1940-an berasal dari kelompok progresif itu. Bahkan, sebegitu progresifnya, mereka mendapat banyak penentangan di dalam negeri dari kelompok konservatif.
Sekalipun para politikus itu terlihat progresif dalam melihat hubungan Belanda-Indonesia, mereka tetap mengikuti jalan pikiran lama: Hindia tidak bisa dibiarkan seratus persen merdeka.
Sesungguhnya, mereka sendiri menghadapi dilema. H.J. van Mook bisa dijadikan representasi paling menonjol dari ambivalensi itu. Van Mook, orang yang sebenarnya dipenuhi ide-ide progresif tentang masa depan Hindia Belanda sedari muda, harus menerima realitas politik yang berkembang saat itu.
Demikianlah, kekhawatiran yang dipenuhi paradoks, ambivalensi, dan gengsi kolonial mewarnai dengan jelas reaksi orang-orang Belanda terhadap kemerdekaan republik. Inilah yang terus menajamkan perbedaan antara Belanda dan Indonesia pada periode genting tersebut.
Belanda tak menginginkan Indonesia seperti yang dikehendaki kaum nasionalis, melainkan "Indonesia" sebagai negeri jajahan “baru" berdasarkan desain mereka sendiri.
Sumber referensi
Ivan Aulia Ahsan, Editor by: Fahri Salam, Web: https://amp.tirto.id/pidato-ratu-wilhelmina-belanda-yang-tak-rela-indonesia-merdeka-cuLE
0 Comments