Suara Papua / Reiner Brabar
SORONG, SUARAPAPUA.com — Masyarakat Gelek (Marga) Klagilit di Sorong, Papua Barat sejak 2019 menolak pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), karena melewati perkebunan sagu dan tak diketahui Analisis Mengenai Dampak Lingkungannya (AMDAL).
Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi, Silas Ongge Kalami mengatakan, pihaknya tidak dilibatkan dalam pembangunan KEK.
“LMA tidak tahu-menahu soal AMDAL KEK. Silakan tanya instansi terkait. LMA tidak dilibatkan dalam prosesnya,” katanya kepada Suarapapua.com, Kamis (27/1/2022).
Oleh sebab itu, Kalami meminta pemerintah dan investor untuk menghargai dan menghormati masyarakat adat, sesuai Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2017 dan Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2020.
Dia berpandangan bahwa LMA tidak menolak pembangunan di Sorong. Namun sebelum melakukan pembangunan perlu menghormati masyarakat adat Moi sebagai pemilik tanah ulayat.
“Sudah cukup hutan adat ini dirusak oleh perusahaan sawit,” kata Silas.
Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Sorong, Elon Fadan mengaku belum mendapatkan laporan terkait AMDAL KEK. Pihaknya pun akan berkoordinasi dengan LMA Malamoi, untuk mengetahui persoalan AMDAL tersebut.
Dia mengatakan, LMA Malamoi harus secepatnya menyurati DPRD, sehingga permasalahan ini segera diselesaikan.
“DPRD tidak bisa mengambil keputusan sepihak tanpa mendengar keterangan dari semua pihak,” ujarnya.
Fadan adalah salah seorang pemilik ulayat yang tanah adatnya dicaplok perusahaan sawit. Oleh karena itu, dirinya meminta masyarakat adat tidak menjual tanah.
“Saya punya tanah perusahaan kasih rusak. Kami marga tidak mengetahui hal itu. Saran saya untuk masyarakat adat agar tidak menjual tanah kepada pihak manapun,” katanya.
Persoalan kelapa sawit dan hak buruh yang di-PHK oleh PT Inti Kebun Sejahtera (IKS) belum selesai, tapi muncul lagi persoalan baru. Pembangunan KEK ini disebut akan merusak 5.500 hektare lahan milik masyarakat adat.
Pembangunan KEK juga ditolak warga Distrik Manyamuk-Salawati. Tahun 2019, warga memalang lahannya sebagai bentuk penolakan terhadap keberadaan KEK atas wilayah mereka.
Warga Kampung Wonosobo, Distrik Moi Seigin, Esau Klagilit mengatakan, marga Klagilit menolak KEK yang bersentuhan dengan wilayah adat mereka. Sekitar 600 hektare wilayah marga Klagilit kini masih utuh, karena marga tersebut menolak hutannya untuk ditebang dalam rangka menyediakan lahan KEK.
“Sebelumnya, hutan kami sudah banyak dipakai untuk transmigrasi, kebun sawit dan makin habis. Negara atau pihak manapun tidak pernah menggantinya. Untuk itu KEK kami tolak,” kata Esau Klagilit.
Esau, yang juga pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini melanjutkan, sudah cukup hutan dirusak oleh perusahaan sawit. Untuk itu, marga Klagilit ingin melindungi wilayah itu dengan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 dan Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2020, terkait perlindungan hukum untuk wilayah adat Moi.
Direktur Perkumpulan Bantuan Hukum Keadilan dan Perdamaian (PBHKP), Loury da Costa menilai, berbagai perusahaan sawit di Sorong sama sekali tidak berkontribusi baik bagi masyarakat adat Moi. Sejak awal kehadiran KEK terjadi permasalahan ganti rugi, yang hingga kini belum diselesaikan.
“Awal masuk saja ada hak masyarakat yang diabaikan. Contohnya ada marga yang menuntut ganti rugi. Namun tidak ada penyelesaian hingga saat sekarang,” kata da Costa.
Da Costa juga mengkhawatirkan kehadiran KEK berpotensi terjadi pelanggaran HAM di kemudian hari nanti.
“Kalau masalah ganti rugi tidak diselesaikan dengan baik, Maka akan berpotensi konflik berkepanjangan hingga terjadi pelanggaran HAM,” katanya.
Peneliti sejarah dan etnografi kolonialisme di Tanah Papua, Veronika Kusumaryati mengatakan, sebelumnya Papua dikenal dengan nama Irian Jaya, provinsi terpencil dan sangat terpinggirkan di Indonesia. Maka tidak heran jika suku Moi, yang menempati hampir seluruh wilayah adat di Sorong, bangkit untuk mendapatkan wilayah adatnya kembali. Hal ini sebagai bagian dari cara untuk hak penentuan nasib wilayahnya, dengan cara-cara yang sebelumnya lebih memelihara lingkungan atau hidup harmoni dengan alam.
“Tidak ada suku Moi (yang) menolak KEK,” kata Veronika.
Veronika menjelaskan, hal yang menarik tentang Papua bukan hanya soal ekstraksi kekayaan alamnya. Tetapi seperti contoh orang Inggris di India, orang Belanda di Indonesia, demikian juga orang Indonesia ini banyak mengirim orang non-Papua ke Papua dan Papua Barat melalui program transmigrasi.
Program ini langsung masuk setelah Indonesia masuk ke Irian Jaya tahun 1963. Dan itu diintensifikasi tahun 1970-an dan 1980-an, mulai dari Merauke, Keerom, Kabupaten Jayapura, hingga ada kampung bernama Wonorejo di Nabire.
“Dari versi pemerintah pertama transmigrasi bertujuan untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan, karena ada anggapan bahwa orang Papua ini dianggap tidak bisa berkembang secara ekonomi dan secara cepat. Hal ini sebenarnya hanya asumsi,” ujar Veronika.
Alumnus departemen antropologi, Universitas Harvard itu menjelaskan, KEK perlu pertimbangan dalam melibatkan masyarakat adat. Kemudian oleh karena penduduk Papua Barat dan Papua sebenarnya dalam statistik adalah 65 % penduduk pertanian, maka konsep KEK hendaknya harus korporasi dengan penduduk harus disesuaikan dengan data statistik yang demikian.
”Apakah pemerintah mendirikan KEK menurut data statistik tersebut atau KEK hanya untuk segelintir orang? ujarnya bertanya.
Hal-hal seperti ini hendaknya menjadi pertimbangan pemerintah dalam KEK, sehingga pembangunan sinkron dengan masyarakat adat.
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
KEK Sorong ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2016 sebagai Kawasan Ekonomi Khusus pertama di Tanah Papua. Penetapan KEK Sorong diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di timur Indonesia, yang sejalan dengan salah satu prinsip Nawacita, yakni membangun Indonesia dari pinggiran. Lokasinya di Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong.
Bupati Sorong, Johny Kamuru melalui Asisten I Bidang Pembangunan Pemkab Sorong, Suroso mengatakan, KEK berbeda dengan lahan perizinan sawit. Seluas 523,7 hektare kawasan itulah yang dilepaskan untuk dibebaskan dari masyarakat hukum adat oleh pemerintah.
Selanjutnya, PT Malamoi Olom Wobok adalah perusahaan daerah milik Kabupaten Sorong yang bergerak dalam usaha Migas dan BUPP KEK Sorong yang akan mengelolanya.
Suroso mengatakan KEK ini diusulkan Pemerintah Provinsi Papua Barat.
“KEK ini inisiatif provinsi untuk ditempatkan di Kabupaten Sorong, dimana ada skema-skema yang menjadi tanggung jawab provinsi, kabupaten dan pusat. Sementara kini dan sudah dan beberapa industri sudah mulai beraktivitas,” katanya.
Untuk penyediaan air, ada air baku dan air tanah. Air baku akan lebih banyak digunakan. Air baku disediakan oleh Balai Wilayah Sungai Papua Barat yang diambil dari Sungai Klasefet di Klamono. Sedangkan air bawah tanah digunakan untuk operasional kantor.
Suroso mengatakan, rencananya kawasan KEK diberikan kepada siapapun bagi warga untuk beraktivitas.
“Termasuk UMKM yang juga dialokasikan di dalam rencana KEK jika masyarakat setempat mau berusaha riil, maka pemerintah akan memberikan ruang,” katanya.
Suroso mengaku belum ada penolakan secara resmi kepada pemerintah terkait KEK. (*)
Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Arnold Belau
The post Masyarakat Adat di Sorong Menolak Pembangunan KEK appeared first on Suara Papua.
Visit website
0 Comments