1. Melayu di Semenanjung Malasya.
Populasi di Semenanjung Malasya terdiri dari penduduk Melayu dan migran asal Cina. Menurut Robequain, Melayu di semenanjung Malasya bukan penduduk asli melainkan migran orang Minangkabau dari Sumatra yang dipindahkan ke Malaysa. Pada abad tujuh dan delapan, kerajaan Sriwijaya membangun pemukiman di pesisir Semenanjung Malasya, dalam rangka itu orang Minangkabau dipindahkan ke Malaya (Robequain 1964: 118). Orang asli di Semenanjung Malasya adalah orang Semang yang ras negritos, orang Sakai ras Dravidian dan orang Jakun Melayu asli (Walter and Charles 1906: 21).
Ketika menjelayahi lebih jauh asal-usul orang Semang dan Senoi di Semenanjung Malasya, orang Melayu tidak penetrasi lebih jauh ke daratan dengan tiga kelompok penduduk asli tersebut, prinsipnya orang Melayu yang migran Sumatra itu menempati wilayah pesisir yang dekat dengan aliran sungai. Mereka masih bertahan dengan kondisi itu hingga abad ke tiga belas setelah muslim enthuisme dari luar dan menerima agama-agama India. Sampai dengan masa kolonial Inggris, sejarah orang Melayu asli di daerah itu masih tertutup sebagai “Native” mereka berbeda jauh dengan penduduk asli, variasi asal-usul mereka, dan pemukiman mereka di semenanjung Malasya masih sangat baru. Aristorasi Melayu didukung beberapa ratus tahun, tetapi aktivitas mereka eksis, di mana orang Bugis dari Makasar, imigran dari Kalimantan, sebagian orang dari Indonesia timur lain, migran dari Jawa dan Sumatra melintasi teluk itu. Orang-orang Melayu dari berbagai wilayah itu serbu masuk semenanjung itu dan mendudukinya, karena menurut mereka Malasya sebagai tanah kosong dengan julukan: ”Malaya is no man`s land by population” seperti disebutkan oleh komentator pada sensus tahun 1931, dan orang Melayu sebagai orang asing paling terakhir dari semua orang asli lain di Malaya (Robequain 1964: 119).
Logan, dalam literatur klasiknya “the ethnology of eastern Asia” mengatakan ras Melayu adalah sangat bervariasi, tetapi hal itu biasanya telah intermediasi diantara orang Siam dan Burma, kedua ras itu umumnya dalam menentukan keberanian. Umumnya ekspresi Indonesia dan Polinesia, lambat dan lemah (Logan 1809: 12). Tiga divisi kategori orang asli, “Negrito”, “Senoi”, dan “Proto-Malay”di Tailand Selatan dan Semenanjung Malasya telah intermediasi dalam dua hal, ciri fisik dan linguistik. Intermediasi ciri fisik melalui asimilasi perkawinan diantara etnik-etnik yang berbeda, sementara intermediasi linguistik adalah kontak komunikasi diantara para penutur bahasa yang berbeda.
Intermediasi afiliasi linguistik itu digambarkan oleh Geoffrey Benjamin dan Cynthia Chou, tentang penutur Mon-Khmer dan Austronesian diantara ras Negritos, Senoi, dan Proto-Melayu. Ketiga divisi ras itu terbagi dalam Sembilan belas suku.
Bahasa Mon-Khmer dibagi dalam tiga kelompok yaitu: (1). Aslian utara, dengan penuturnya tujuh suku: Maniq, Kensiu, Kentaq, Jahai, Mendriq, Batek, dan Chewong. (2). Central Aslian, penuturnya terdiri dari empat suku: Lenoh, ialah gabungan dari dua suku Semnams and Sabüms; Temiar, Semai, dan Jah Hut. (3). Aslian Selatan, terbagi menjadi tiga suku: Semaq Beri, Semelai, dan Besisi. Sementara itu, penutur bahasa Austronesia dibagi menjadi lima suku: Temuan, Jakun, Orang Kanaq, Orang Seletar, dan Duano Benjamin dan Chou 2002: 22).
2. Divisi Sumatra.
Divisi Sumatra; terdiri atas berbagai kelompok etnik seperti Aceh di ujung barat Sumatra, etnik Batak di sekitar danau Toba, Minangkabau, Tabanuli, Padang dan Pengkulu di pantai selatan Kalimantan, Palembang dan Lampung bagian timur dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Dalam studi etnografi klasik menjelaskan, sejak abad tujuh belas dan delapan belas tiga kelompok etnik: Aceh, Batak dan Minangkabau telah jauh berkembang dan mendominasi ekonomi, sosial, dan politik di Sumatra. Mereka telah menerima budaya luar dan penetrasi dengan orang luar seperti Cina, India, Arab dan Eropa, melalui pengaruh Hindu, Islam dan Kristen dalam tiga etnis itu. Kehadiran migran asing dimulai sejak kerajaan Sriwijaya dan pengaruh selat Malaka sebagai jalur transportasi utama di masa itu.
Benjamin dan Chou identifikasi divisi Sumatra ke dalam sejumlah etnik groups dari lima provinsi di Sumatra yakni: Provinsi Riau teridentifikasi menjadi delapan etnis, Orang Laut, Talang Mamak, Bonai, Hutan, Akit, Sakai, Kuala/Laut, dan Bertam. Provinsi Jambi terbagi ke dalam lima etnik groups: Anak Dalam (Kubu), Masyarakat Talang, Masyarakat Terasing, Bajau/Suku Laut, dan Talang Mamak. Ethnik group dari provinsi Sumatera Selatan adalah Anak Dalam (Kubu), Laut, dan Ameng Sawang. Provinsi Sumatra utara teridentifikasi Nias, dan provinsi Bengkulu terdiri dari tiga etnik: Serawai, Rejang, dan Kaarubi, Kaano (Benjamin dan Chou 2002: 23).
3. Divisi Jawa.
Divisi Jawa; terdiri atas etnik Sunda, Jawa, dan Madura. Orang Sunda ditempati pulau Sunda besar dan Sunda kecil di bagian barat pulau Jawa, etnik Jawa di central pulau Jawa, dan etnik Madura di bagian timur. Etnik-etnik ini telah memperoleh pengaruh peradaban historis dari budaya Brahmanistik and Buddhistik dari India (Keane 1887: 152, dan Haberlandt 1920: 116). Jawa adalah populasi Melayu paling besar dan setelah Indonesia modern dibentuk, pemerintah Indonesia mobilisasi populasi orang Jawa ke berbagai pulau di Indonesia, etnik ini berhasil menaklukan bangsa-bangsa lain kepulauan Nusantara ini termasuk West Papua atas nama nasionalisme Indonesia, mereka menduduki dan menjajah bangsa-bangsa di luar mereka itu, serta dominasi berbagai sektor: ekonomi, politik, dan birokrasi, dan rampas tanah-tanah adat.
Kekuasaan di Indonesia dikendalikan etnik Jawa, dibantu etnik lain seperti keturunan Cina dan Arab, divisi Sumatra semisal Batak, dan Padang, divisi Sulawesi yakni Makasar, Bugis, Toraja dan Minahasan. Di mana distribusi kekuasaan terakumulasi pada suku-suku itu. Kekuasaan dan tipe kepemimpin yang ingin menguasai bangsa lain dan tribusi kekuasaan terakumulasi dalam kepemiminan Jawa, Sumatra dan Sulawesi ini dikendalikan oleh watak khas suku-suku itu.
Karakter dan watak khas orang Melayu di Indonesia itu telah ditulis oleh para intelektual Indonesia sendiri, seperti Koentjaraningrat (1993); Moctar Lubis (2008), Endraswara (1988, 2007, dan 2013), Sri Rahayu Prihatmi et al (2003). Studi-studi ini mengungkapkan karakter dan watak khas orang Jawa dapat mengendalikan dan mempengaruhi kehidupan manusia dalam berbagai hal.
Suwardi Endraswara, mengambarkan karakter dan watak orang Jawa. sebagai berikut: 1). Drengki-srei, jail methakil. drengki-sre watak tak senang jika orang lain mendapatkan kenikmatan sebaliknya amat bahagia orang lain celaka. Jail watak orang Jawa gemar perbuat tak baik kepada orang lain. Methakil niat untuk mencelakakan orang lain karena ingin menang sendiri. Watak Jail methakil itu terkombinasi dengan watak mbuntut arit dan nyumur gumuling, maka orang Jawa berwatak kaya kata-kata manis, kaya pura-pura, dan pandai bersilat lidah dan ingin hebat di dunia. Watak ini menyebabkan perilaku yang meremehkan pihak lain, mengecilkan kemampuan orang lain, dan tak mau mengakui sedikitpun terhadap keberadaan orang lain. 2). Merkengkong, sekhuton dan ngelendeng. Merkengkong berarti berwatak merasa risi, tak mau, rowel dan sulit dipegang hatinya. Karena biasanya mereka selalu menyulitkan pihak lain. Hati dan pikirannya kebal, bermuka tebal (rai gedheg), dan selalu tak tahu malu. Yang penting bagi mereka benar sendiri. Lalu diri mereka itu sering njangon gori artinya tak mau menghiraukan suara orang lain. Nuraninya telah tertutup dan terpatri oleh nafsu ingin berkuasa, ingin menang, dan ingin menolak kesalahan. Akhirnya hanya keselamatan dan keuntungan dirinya yang dibesar-besarkan. 3). Kikrik, watak orang Jawa yang super sulit. Orang Jawa yang berwatak kikrik sulit dikendalikan pihak lain. Apa saja sering dianggap kurang tepat, sehingga pihak lain dianggap salah terus menerus. Watak ini bisa muncul dalam budaya Jawa yang tersubordinasi. Watak kikrik selalu diliputi merasa dirinya lebih. 4). Ngarasani. Budaya ini lahir atas dorongan budaya semu, tidak suka menyatakan sesuatu secara terbuka. Segala sesuatu dibungkus dengan rasa, membicarakan orang lain secara sembunyi-sembunyi. 5). Trocoh. Trocoh berhubungan dengan kata-kata yang amat jelek dan menjatuhkan martabat pihak lain. 6). Lemer, geleman dan dhemenan. Watak lemer, kebiasaan wanita Jawa gemar ikut laki-laki berganti-ganti pasangan. Watak geleman, mau diajak laki-laki siapa saja, tanpa pandang bulu. Dhemenan berarti berbuat selingkuh dengan laki-laki dari keluarga lain secara sembunyi-sembunyi. 7). Nylekuthis, adalah watak yang bergaya dengan segenap stelannya tetapi sebenarnya adalah sampah masyarakat. 8). berwatak damai, prinsip ini dianut dalam mencapai kedamian ada konsep rukun yakni kondisi di mana keseimbangan sosial tercapai. (9) berwatak toleran, toleransi adalah sikap lapang dada atau savoir vivre istilah Anderson. Toleransi menjadi pokok sikap mental orang Jawa. (Endraswara 2007)
Diantara sembilan item watak dasar orang Jawa digambarkan Endraswara itu, tujuh item menunjukkan watak khas orang Jawa yang berorientasi kepada perilaku dan tindakan yang mengarahkan manusia kepada hal-hal negatif. Sikap dan tindakan manusia mengutamakan diri sendiri, menguasai pihak lain dan mengambil keuntungan dengan cara mencelakan pihak lain. Sikap dan tindakan yang menunjukkkan retorika tidak bermakna, ingin berbohong pihak lain dan retorika yang tidak disertai dengan realita. Sementara dua watak terakhir menunjukan orang Jawa berorientasi kepada damai dan toleransi. Tetapi dua waktak positif ini tidak didukung oleh konsep keadilan yang sebagaimana tercantum dalam Pancasila, karena kedamaian itu terbentuk terpenuhi keadilan, dan orang saling bertoleransi telah tercipta unsur harmoni dan keseimbangan dengan pihak lain. Fakta sistem kepemimpinan Indonesia unsur-unsur itu tidak terpenuhi secara nyata, karena distribusi kekuasaan terakumulasi pada etnik-etnik tertentu saja. Ini logis, karena watak khas orang Jawa di atas lebih banyak negatif yang dapat mempengaruhi sikap dan tindakan dalam mengelola negara ini.
Watak dasar orang Jawa ini bersifat genetis, sesuatu yang ada dalam diri manusia sejak lahir. Konsep budaya Jawa adalah budaya kebatinan. Dalam batin manusia Jawa tersarang jiwa yang mengendalikan keseluruhan sistem kehidupan. Konsep dalam hidup manusia itu dinai jagat cilik, dan unsur terkecil dari jagat cilik adalah watak, dan bagi orang Jawa watak itu bersifat generis maka tidak bisa diubah sampai mereka mati. Berkaitan dengan dasar watak, sifat dan perilaku manusia itu digambarkan dengan ungkapkan: “bibit, bebet, bobot“, bibit itu watak diturunkan secara gereris, bebet itu sifat, dan bobot itu perilaku (Prihatmi et al 2003: 71).
0 Comments