Kepada Yth:
Presiden Republik Indonesia
Jenderal (Purn.) Prabowo Subianto
di Istana Negara, Jakarta
Bapak Presiden,
Ibu saya, Hetina Mirip, bukan kombatan. Ia bukan bagian dari kelompok bersenjata, bukan pula musuh negara. Ia hanya seorang perempuan Papua, ibu rumah tangga yang setia pada dapur dan doa. Tapi pagi kemarin yang bisu di Kampung ku Jindapa, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, tentara datang, rumah kami dikepung, dan ibuku ditembak, dibakar di halaman rumah, tepat di depan mata saya. Ia dikubur tanpa upacara, tanpa upaya hukum, tanpa satu pun air mata dari negara yang katanya milik semua rakyatnya.
Bapak Presiden,
Apakah ini arti nasionalisme di mata negara: membunuh warganya sendiri lalu memanggilnya stabilitas? Apakah luka yang menganga di Nduga, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Dogiyai, Mimika, Maybrat dan daerah lainnya di Tanah Papua hanyalah angka dalam laporan militer? Kami bukan statistik, Pak. Kami anak-anak manusia yang masih bertanya: apa dosa kami dilahirkan sebagai Papua?
Saya menulis surat ini bukan hanya untuk ibu saya, tapi untuk ribuan ibu lain yang dibakar perlahan oleh peluru, ketakutan, dan pengungsian. Di tanah kami, sekolah berubah jadi barak, guru digantikan senapan, dan suara tangis anak-anak menjadi latar belakang setiap operasi. Kami butuh guru dan nakes, bukan pasukan tempur. Kami ingin hidup, bukan dibungkam.
Bapak Presiden,
Sementara dunia Anda dipenuhi konferensi dan foto diplomatik, kami terjebak dalam kobaran senyap kekerasan. Anda menawarkan diri sebagai mediator konflik Rusia dan Ukraina, tetapi mengapa Anda tutup pintu dialog dengan rakyat Anda sendiri di Papua? Mengapa negara lebih peduli pada pengungsi asing daripada kami, pengungsi di tanah sendiri?
Saya ingin mengerti, Pak, bagaimana mungkin pembunuhan warga sipil bisa dianggap prestasi? Bagaimana bisa tentara yang membakar kampung kami diberi penghargaan? Apakah impunitas kini bagian dari budaya resmi negara? Apakah keadilan hanya milik mereka yang berseragam dan berkantor di ibu kota?
Bapak Presiden,
Apa arti Indonesia jika tidak ada tempat untuk Papua di dalamnya, selain sebagai target tembak? Apa arti kemerdekaan jika kami masih hidup dalam bayang-bayang penyisiran, pengejaran, dan stigma? Di mana itu Pancasila, ketika sila kemanusiaan justru dikubur bersama mayat ibu saya?
Saya tidak menulis untuk membalas dendam. Saya menulis agar nurani Anda terbangun. Agar publik Indonesia tahu bahwa kemerdekaan belum tiba di tanah kami. Bahwa ada anak bangsa yang terus-menerus disayat oleh negaranya sendiri, dan dunia diam.
Surat ini adalah suara dari seorang anak, korban, dan saksi. Jika negara tak sanggup melindungi kami, paling tidak berhentilah menyakiti kami. Jangan wariskan darah kepada generasi berikutnya. Hentikan pembantaian. Buka ruang dialog. Hadirkan keadilan. Kembalikan kemanusiaan.
Kami masih menunggu, Pak Presiden. Tapi entah sampai kapan.
Hormat saya,
Seorang anak Papua yang kehilangan ibuku karena ditembak dan dibakar aparat negara (Antonia Hilaria Wandagau)
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto Gibran Rakabuming
@sorotan @sorotan Pengikut
0 Comments